- Back to Home »
- SUDAHILAH ERA GAGAP BENCANA
Posted by : Unknown
Selasa, 04 Februari 2014
SEBAGAI negeri yang tidak pernah
sepi dari bencana alam, cara kita mengenali dan menangani bencana kerap
terlambat, parsial, dan cenderung berpola responsif.
Tengoklah respons yang terjadi ketika Gunung Sinabung meletus, Manado disergap banjir dan longsor, serta jalur pantai utara di Jawa Barat terputus dikepung banjir, kita terkaget-kaget sehingga penanganannya pun serba instan.
Semua seolah terjadi seperti tiba-tiba, padahal sejatinya tanda-tandanya sudah nyata sejak lama. Tidak mengherankan jika korban berjatuhan kian banyak dengan tingkat kepedihan yang sangat dalam. Dampak lanjutan pascabencana pun dipastikan jauh lebih hebat daripada bila respons atas bencana dilakukan secara cepat dan menyeluruh.
Ribuan petani di sekitar Gunung Sinabung, Sumatra Utara, kini belum tahu harus bagaimana mencari nafkah setelah ribuan hektare lahan mereka rusak. Laju ekonomi di Manado belum sepenuhnya bergerak karena kota yang porak-poranda.
Pun dengan denyut ekonomi di jalur pantura yang lumpuh berhari-hari, dan kini belum sepenuhnya pulih akibat rusaknya infrastruktur. Jutaan orang, triliunan rupiah, dan ribuan aset yang musnah jelas memukul perekonomian masyarakat dengan pendapatan paling rentan sehingga mengirim mereka ke bibir jurang kemiskinan baru.
Itu semua tidak perlu terjadi jika para pemangku kebijakan mengakrabi bencana. Kebijakan menyeluruh di bidang kebencanaan, mulai deteksi dini, pencegahan, tanggap darurat, hingga rehabilitasi menunjukkan pemanggul kebijakan tak paham, atau pura-pura tak paham, atau malah tak mau paham dengan bencana.
Padahal, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sudah memberikan panduan apa yang harus dilakukan saat prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana.
Prabencana memandu bagaimana bertindak dalam situasi jika tidak terjadi bencana dan dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana. Di fase tanggap darurat, undang-undang mengamanatkan para pemangku negara bertindak cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya. Adapun pascabencana, negara harus menyelesaikan proses rehabilitasi dan rekonstruksi.
Maka, jika kita tidak ingin bencana di negeri ini terus-menerus menelan korban dalam jumlah yang besar baik korban jiwa maupun materi, hentikan kebiasaan lama. Bertindak lambat, instan, dan parsial dalam menangani bencana harus jadi kamus usang yang wajib ditinggalkan.
Kini, ketika bencana mulai agak mereda, meskipun belum bisa dikatakan jeda, upaya penanganan pascabencana harus segera dirumuskan. Amanat undang-undang misalnya, jangan hanya menjadi tumpukan kertas di lingkaran meja birokrasi.
Semua itu agar amanat konstitusi, yakni melindungi segenap tumpah darah Indonesia, benar-benar nyata dan bukan ornamen sejarah penghias kebangsaan.
Tengoklah respons yang terjadi ketika Gunung Sinabung meletus, Manado disergap banjir dan longsor, serta jalur pantai utara di Jawa Barat terputus dikepung banjir, kita terkaget-kaget sehingga penanganannya pun serba instan.
Semua seolah terjadi seperti tiba-tiba, padahal sejatinya tanda-tandanya sudah nyata sejak lama. Tidak mengherankan jika korban berjatuhan kian banyak dengan tingkat kepedihan yang sangat dalam. Dampak lanjutan pascabencana pun dipastikan jauh lebih hebat daripada bila respons atas bencana dilakukan secara cepat dan menyeluruh.
Ribuan petani di sekitar Gunung Sinabung, Sumatra Utara, kini belum tahu harus bagaimana mencari nafkah setelah ribuan hektare lahan mereka rusak. Laju ekonomi di Manado belum sepenuhnya bergerak karena kota yang porak-poranda.
Pun dengan denyut ekonomi di jalur pantura yang lumpuh berhari-hari, dan kini belum sepenuhnya pulih akibat rusaknya infrastruktur. Jutaan orang, triliunan rupiah, dan ribuan aset yang musnah jelas memukul perekonomian masyarakat dengan pendapatan paling rentan sehingga mengirim mereka ke bibir jurang kemiskinan baru.
Itu semua tidak perlu terjadi jika para pemangku kebijakan mengakrabi bencana. Kebijakan menyeluruh di bidang kebencanaan, mulai deteksi dini, pencegahan, tanggap darurat, hingga rehabilitasi menunjukkan pemanggul kebijakan tak paham, atau pura-pura tak paham, atau malah tak mau paham dengan bencana.
Padahal, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sudah memberikan panduan apa yang harus dilakukan saat prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana.
Prabencana memandu bagaimana bertindak dalam situasi jika tidak terjadi bencana dan dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana. Di fase tanggap darurat, undang-undang mengamanatkan para pemangku negara bertindak cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya. Adapun pascabencana, negara harus menyelesaikan proses rehabilitasi dan rekonstruksi.
Maka, jika kita tidak ingin bencana di negeri ini terus-menerus menelan korban dalam jumlah yang besar baik korban jiwa maupun materi, hentikan kebiasaan lama. Bertindak lambat, instan, dan parsial dalam menangani bencana harus jadi kamus usang yang wajib ditinggalkan.
Kini, ketika bencana mulai agak mereda, meskipun belum bisa dikatakan jeda, upaya penanganan pascabencana harus segera dirumuskan. Amanat undang-undang misalnya, jangan hanya menjadi tumpukan kertas di lingkaran meja birokrasi.
Semua itu agar amanat konstitusi, yakni melindungi segenap tumpah darah Indonesia, benar-benar nyata dan bukan ornamen sejarah penghias kebangsaan.