- Back to Home »
- MITIGASI BENCANA YANG TERLUPAKAN
Posted by : Unknown
Minggu, 02 Februari 2014
Entah sudah berapa ribu kali diungkapkan bahwa negeri ini amat rawan bencana.
Sebagian besar wilayah Indonesia bertengger di atas zona patahan lempeng
tektonik yang setiap saat bisa memantik gempa.
Sekitar
5 juta penduduk Indonesia hidup di wilayah rawan tsunami. Sebanyak 129
gunung berapi di sekujur Nusantara bisa meletus kapan saja.
Sekurang-kurangnya 13 jenis bencana mengancam kita.
Namun,
beribu-ribu kali kita diingatkan, beribu-ribu kali pula kita
menganggapnya sepele dan kemudian melupakanya begitu saja. Kalaupun
ingat, itu hanya terjadi kala bencana menyerang. Kita hanya ingat
tanggap darurat dan rehabilitasi pascabencana. Itu pun dengan manajemen
yang jauh dari disebut ideal.
Tahap
penanganan bencana yang hampir senantiasa luput dari perhatian kita
ialah mitigasi. Mitigasi bencana ialah serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mengurangi risiko bencana, baik terhadap jiwa manusia
maupun materi.
Edukasi
merupakan bagian penting mitigasi bencana. Ia menggugah kesadaran kita
bahwa karena kita hidup di wilayah rawan bencana, kita harus
mengakrabinya, senantiasa siap menghadapinya, tetapi tak boleh
menantangnya.
Namun,
peristiwa tewasnya belasan warga setelah terpapar oleh debu panas
erupsi Gunung Sinabung, Kabupaten Karo, Sumatra Utara, Sabtu (1/2),
memamerkan betapa kita alpa dengan mitigasi bencana. Kita berduka
sedalam-dalamnya atas peristiwa itu. Namun, sekadar duka tak akan cukup
mampu mencegah peristiwa serupa berulang.
Oleh karena itu, harus kita katakan bahwa peristiwa itu terjadi sebab kita seperti hendak menantang bencana. Di
satu sisi, peristiwa itu terjadi lantaran warga mengabaikan peringatan
bahwa erupsi Sinabung masih mengancam untuk waktu yang lama, sekitar
satu tahun menurut prediksi.
Di
sisi lain, karena mitigasi mencakup edukasi, dan edukasi menjadi
kewajiban negara, harus kita katakan bahwa erupsi Sinabung yang
merenggut banyak nyawa membuktikan kegagalan negara dalam mitigasi
bencana. Para pemangku kepentingan gagal mengedukasi dan menggugah
kesadaran rakyat untuk mengurangi risiko bencana.
Kita
berani bertaruh, anggaran untuk mitigasi bencana terutama di bidang
edukasi sangat kecil, lebih kecil jika dibandingkan dengan anggaran
tanggap darurat dan anggaran rehabilitasi pascabencana. Bila anggaran
tanggap darurat dan rehabilitasi bencana diketahui jauh dari memadai,
bisa kita bayangkan betapa minimnya anggaran mitigasi bencana.
Padahal,
mitigasi bencana merupakan hulu penanganan bencana. Bila mitigasi
bencana beres, tanggap darurat dan pemulihan bakal beres pula.
Kita
malu luar biasa menyaksikan rakyat Jepang yang begitu sigap dan tertib
menghadapi gempa dan tsunami pada Maret 2011. Korban bisa diminimalkan,
pemulihan pun cepat terealisasi. Itu semua membuktikan ‘Negeri Sakura’
itu beres mitigasi bencananya.
Bahkan
tak perlu belajar jauh kepada Jepang. Kita sesungguhnya bisa belajar
dari kearifan lokal Nusantara. Kearifan lokal dalam berbagai
implementasinya mengajarkan kita mengakrabi alam bahkan ketika alam
sedang murka sekalipun.
Peristiwa
Sinabung semestinya menjadi peringatan terakhir bagi bangsa ini untuk
melawan lupa bahwa mitigasi teramat penting bagi negeri rawan bencana
seperti Indonesia. Bila tidak, bencana-bencana berikutnya dengan risiko
masif bakal hadir silih berganti untuk mengingatkan bangsa ini lagi dan lagi.