Archive for Februari 2014
BENCANA - DANA SAKSI PARTAI DAN HILANG INGATAN
By : Unknown
BENCANA
atau tragedi biasanya tersimpan lama dalam kenangan, baik kenangan
pribadi maupun kolektif. Namun, itu hanya terjadi di dalam masyarakat
yang menghargai sejarah.
Indonesia,
menurut pengalaman, ialah bangsa dengan ingatan pendek. Bahkan, ada
yang menyebut kita bangsa yang sengaja menguburkan sejarah. Karena itu, nyaris tidak ada kenangan yang abadi bagi bangsa ini secara kolektif.
Itu
pula yang kita saksikan tatkala bencana demi bencana melanda Republik
ini dari waktu ke waktu beruntun tanpa jeda, termasuk bencana yang mendera akhir-akhir ini.
Padahal, beban penderitaan yang ditanggung korban bencana itu teramat berat.
Mereka kehilangan tempat tinggal dan harta benda bahkan sanak saudaranya. Mata
pencaharian pun tercerabut karena tempat mereka mencari nafkah terkoyak
oleh banjir atau tertimbun debu vulkanis.
Dalam
bencana banjir yang masih berlangsung saat ini, misalnya, tidak kurang
dari 300 ribu hektare area persawahan yang baru memulai masa tanam
tersapu banjir. Letusan Gunung Sinabung pun meluluhlantakkan 20 ribu
hektare lahan tanaman hortikultura dan padi di Tanah Karo.
Maka,
banyak di antara para korban bencana tiba-tiba terjungkal didasar jurang kemiskinan. Mereka
terseok-seok berupaya bangkit dari titik nadir kenestapaannya. Jumlah orang yang tiba-tiba menjadi miskin akibat bencana bisa mencapai 450 ribu orang.
Namun,
apa yang menjadi dalih dan yang dilakukan oleh pemangku kebijakan tak menunjukkan memori getir
itu agar layak dikenang untuk dicarikan solusi. Negara ini, misalnya,
mengalokasikan dana penanganan bencana dalam jumlah minim, hanya
sekitar Rp3 triliun. Padahal, menurut Badan Nasional Penanggulangan
Bencana, kerusakan dan kerugian akibat bencana alam rata-rata mencapai
Rp30 triliun per tahun.
Dengan
dana yang terbatas, upaya pemulihan bencana memerlukan waktu sedikitnya
tiga tahun. Di negara yang sudah menjadi langganan banjir, gunung
meletus, ataupun gempa bumi, anggaran penanganan bencana yang
dialokasikan semestinya mencakup jaring pengaman sosial bagi korban.
Jaring
pengaman itu harus bisa menjamin jumlah orang miskin tidak akan
bertambah akibat bencana. Bentuknya bisa dimulai dari pembangunan kembali tempat
tinggal mereka hingga pemberian sarana dan prasarana produksi. Dengan jaring
pengaman sosial, korban tidak perlu memulai dari titik nol untuk kembali
bangkit. lagi Pemulihan ekonomipun akan berjalan cepat.
Semua
itu memerlukan itikad politik yang kuat untuk memberi perhatian lebih
serius pada penanganan bencana. Serius artinya dimulai dengan memasukkan
pemulihan ekonomi dalam program pemulihan pascabencana (livelyhood programme). Dengan begitu,
negara akan mengalokasikan anggaran sampai sepuluh kali lebih besar daripada yang ada sekarang.
Pemulihan
pascabencana pun akan bergulir lebih pesat bila perbankan nasional
turun tangan ikut membantu. Caranya, misalnya, dengan memberikan pinjaman
superlunak kepada korban sehingga bisa memulai kembali usaha mereka.
Toh, perbankan selama ini sudah menikmati dana murah dari masyarakat untuk dikelola
dan menghasilkan keuntungan yang sangat fantastis.
Seiring
dengan itu, gerak cepat pemerintah pusat dan daerah dalam rangka memulihkan
infrastruktur yang mendukung perekonomian rakyat sangat diperlukan. Jangan
biarkan korban bencana semakin terpuruk dalam kemiskinan, tapi di sisi
lain negara malah sudah menyiapkan dana fantastis untuk keperluan kelompok,
misalnya dana saksi untuk partai politik.
Memperbaiki memori kolektif dari panjangya pengalaman bencana di negeri ini dan memperbaiki pola penanganan bencana melalui cara-cara solutif-kreatif mutlak dilakukan oleh pemangku kebijakan .
Mengenang dan mengevaluasi apa yang pernah terjadi pada negeri ini, adalah agar
bangsa ini tak jadi cepat hilang ingatan.
SUDAHILAH ERA GAGAP BENCANA
By : Unknown
SEBAGAI negeri yang tidak pernah
sepi dari bencana alam, cara kita mengenali dan menangani bencana kerap
terlambat, parsial, dan cenderung berpola responsif.
Tengoklah respons yang terjadi ketika Gunung Sinabung meletus, Manado disergap banjir dan longsor, serta jalur pantai utara di Jawa Barat terputus dikepung banjir, kita terkaget-kaget sehingga penanganannya pun serba instan.
Semua seolah terjadi seperti tiba-tiba, padahal sejatinya tanda-tandanya sudah nyata sejak lama. Tidak mengherankan jika korban berjatuhan kian banyak dengan tingkat kepedihan yang sangat dalam. Dampak lanjutan pascabencana pun dipastikan jauh lebih hebat daripada bila respons atas bencana dilakukan secara cepat dan menyeluruh.
Ribuan petani di sekitar Gunung Sinabung, Sumatra Utara, kini belum tahu harus bagaimana mencari nafkah setelah ribuan hektare lahan mereka rusak. Laju ekonomi di Manado belum sepenuhnya bergerak karena kota yang porak-poranda.
Pun dengan denyut ekonomi di jalur pantura yang lumpuh berhari-hari, dan kini belum sepenuhnya pulih akibat rusaknya infrastruktur. Jutaan orang, triliunan rupiah, dan ribuan aset yang musnah jelas memukul perekonomian masyarakat dengan pendapatan paling rentan sehingga mengirim mereka ke bibir jurang kemiskinan baru.
Itu semua tidak perlu terjadi jika para pemangku kebijakan mengakrabi bencana. Kebijakan menyeluruh di bidang kebencanaan, mulai deteksi dini, pencegahan, tanggap darurat, hingga rehabilitasi menunjukkan pemanggul kebijakan tak paham, atau pura-pura tak paham, atau malah tak mau paham dengan bencana.
Padahal, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sudah memberikan panduan apa yang harus dilakukan saat prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana.
Prabencana memandu bagaimana bertindak dalam situasi jika tidak terjadi bencana dan dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana. Di fase tanggap darurat, undang-undang mengamanatkan para pemangku negara bertindak cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya. Adapun pascabencana, negara harus menyelesaikan proses rehabilitasi dan rekonstruksi.
Maka, jika kita tidak ingin bencana di negeri ini terus-menerus menelan korban dalam jumlah yang besar baik korban jiwa maupun materi, hentikan kebiasaan lama. Bertindak lambat, instan, dan parsial dalam menangani bencana harus jadi kamus usang yang wajib ditinggalkan.
Kini, ketika bencana mulai agak mereda, meskipun belum bisa dikatakan jeda, upaya penanganan pascabencana harus segera dirumuskan. Amanat undang-undang misalnya, jangan hanya menjadi tumpukan kertas di lingkaran meja birokrasi.
Semua itu agar amanat konstitusi, yakni melindungi segenap tumpah darah Indonesia, benar-benar nyata dan bukan ornamen sejarah penghias kebangsaan.
Tengoklah respons yang terjadi ketika Gunung Sinabung meletus, Manado disergap banjir dan longsor, serta jalur pantai utara di Jawa Barat terputus dikepung banjir, kita terkaget-kaget sehingga penanganannya pun serba instan.
Semua seolah terjadi seperti tiba-tiba, padahal sejatinya tanda-tandanya sudah nyata sejak lama. Tidak mengherankan jika korban berjatuhan kian banyak dengan tingkat kepedihan yang sangat dalam. Dampak lanjutan pascabencana pun dipastikan jauh lebih hebat daripada bila respons atas bencana dilakukan secara cepat dan menyeluruh.
Ribuan petani di sekitar Gunung Sinabung, Sumatra Utara, kini belum tahu harus bagaimana mencari nafkah setelah ribuan hektare lahan mereka rusak. Laju ekonomi di Manado belum sepenuhnya bergerak karena kota yang porak-poranda.
Pun dengan denyut ekonomi di jalur pantura yang lumpuh berhari-hari, dan kini belum sepenuhnya pulih akibat rusaknya infrastruktur. Jutaan orang, triliunan rupiah, dan ribuan aset yang musnah jelas memukul perekonomian masyarakat dengan pendapatan paling rentan sehingga mengirim mereka ke bibir jurang kemiskinan baru.
Itu semua tidak perlu terjadi jika para pemangku kebijakan mengakrabi bencana. Kebijakan menyeluruh di bidang kebencanaan, mulai deteksi dini, pencegahan, tanggap darurat, hingga rehabilitasi menunjukkan pemanggul kebijakan tak paham, atau pura-pura tak paham, atau malah tak mau paham dengan bencana.
Padahal, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sudah memberikan panduan apa yang harus dilakukan saat prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana.
Prabencana memandu bagaimana bertindak dalam situasi jika tidak terjadi bencana dan dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana. Di fase tanggap darurat, undang-undang mengamanatkan para pemangku negara bertindak cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya. Adapun pascabencana, negara harus menyelesaikan proses rehabilitasi dan rekonstruksi.
Maka, jika kita tidak ingin bencana di negeri ini terus-menerus menelan korban dalam jumlah yang besar baik korban jiwa maupun materi, hentikan kebiasaan lama. Bertindak lambat, instan, dan parsial dalam menangani bencana harus jadi kamus usang yang wajib ditinggalkan.
Kini, ketika bencana mulai agak mereda, meskipun belum bisa dikatakan jeda, upaya penanganan pascabencana harus segera dirumuskan. Amanat undang-undang misalnya, jangan hanya menjadi tumpukan kertas di lingkaran meja birokrasi.
Semua itu agar amanat konstitusi, yakni melindungi segenap tumpah darah Indonesia, benar-benar nyata dan bukan ornamen sejarah penghias kebangsaan.
MITIGASI BENCANA YANG TERLUPAKAN
By : Unknown
Entah sudah berapa ribu kali diungkapkan bahwa negeri ini amat rawan bencana.
Sebagian besar wilayah Indonesia bertengger di atas zona patahan lempeng
tektonik yang setiap saat bisa memantik gempa.
Sekitar
5 juta penduduk Indonesia hidup di wilayah rawan tsunami. Sebanyak 129
gunung berapi di sekujur Nusantara bisa meletus kapan saja.
Sekurang-kurangnya 13 jenis bencana mengancam kita.
Namun,
beribu-ribu kali kita diingatkan, beribu-ribu kali pula kita
menganggapnya sepele dan kemudian melupakanya begitu saja. Kalaupun
ingat, itu hanya terjadi kala bencana menyerang. Kita hanya ingat
tanggap darurat dan rehabilitasi pascabencana. Itu pun dengan manajemen
yang jauh dari disebut ideal.
Tahap
penanganan bencana yang hampir senantiasa luput dari perhatian kita
ialah mitigasi. Mitigasi bencana ialah serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mengurangi risiko bencana, baik terhadap jiwa manusia
maupun materi.
Edukasi
merupakan bagian penting mitigasi bencana. Ia menggugah kesadaran kita
bahwa karena kita hidup di wilayah rawan bencana, kita harus
mengakrabinya, senantiasa siap menghadapinya, tetapi tak boleh
menantangnya.
Namun,
peristiwa tewasnya belasan warga setelah terpapar oleh debu panas
erupsi Gunung Sinabung, Kabupaten Karo, Sumatra Utara, Sabtu (1/2),
memamerkan betapa kita alpa dengan mitigasi bencana. Kita berduka
sedalam-dalamnya atas peristiwa itu. Namun, sekadar duka tak akan cukup
mampu mencegah peristiwa serupa berulang.
Oleh karena itu, harus kita katakan bahwa peristiwa itu terjadi sebab kita seperti hendak menantang bencana. Di
satu sisi, peristiwa itu terjadi lantaran warga mengabaikan peringatan
bahwa erupsi Sinabung masih mengancam untuk waktu yang lama, sekitar
satu tahun menurut prediksi.
Di
sisi lain, karena mitigasi mencakup edukasi, dan edukasi menjadi
kewajiban negara, harus kita katakan bahwa erupsi Sinabung yang
merenggut banyak nyawa membuktikan kegagalan negara dalam mitigasi
bencana. Para pemangku kepentingan gagal mengedukasi dan menggugah
kesadaran rakyat untuk mengurangi risiko bencana.
Kita
berani bertaruh, anggaran untuk mitigasi bencana terutama di bidang
edukasi sangat kecil, lebih kecil jika dibandingkan dengan anggaran
tanggap darurat dan anggaran rehabilitasi pascabencana. Bila anggaran
tanggap darurat dan rehabilitasi bencana diketahui jauh dari memadai,
bisa kita bayangkan betapa minimnya anggaran mitigasi bencana.
Padahal,
mitigasi bencana merupakan hulu penanganan bencana. Bila mitigasi
bencana beres, tanggap darurat dan pemulihan bakal beres pula.
Kita
malu luar biasa menyaksikan rakyat Jepang yang begitu sigap dan tertib
menghadapi gempa dan tsunami pada Maret 2011. Korban bisa diminimalkan,
pemulihan pun cepat terealisasi. Itu semua membuktikan ‘Negeri Sakura’
itu beres mitigasi bencananya.
Bahkan
tak perlu belajar jauh kepada Jepang. Kita sesungguhnya bisa belajar
dari kearifan lokal Nusantara. Kearifan lokal dalam berbagai
implementasinya mengajarkan kita mengakrabi alam bahkan ketika alam
sedang murka sekalipun.
Peristiwa
Sinabung semestinya menjadi peringatan terakhir bagi bangsa ini untuk
melawan lupa bahwa mitigasi teramat penting bagi negeri rawan bencana
seperti Indonesia. Bila tidak, bencana-bencana berikutnya dengan risiko
masif bakal hadir silih berganti untuk mengingatkan bangsa ini lagi dan lagi.