BENCANA - DANA SAKSI PARTAI DAN HILANG INGATAN
By : Unknown
BENCANA
atau tragedi biasanya tersimpan lama dalam kenangan, baik kenangan
pribadi maupun kolektif. Namun, itu hanya terjadi di dalam masyarakat
yang menghargai sejarah.
Indonesia,
menurut pengalaman, ialah bangsa dengan ingatan pendek. Bahkan, ada
yang menyebut kita bangsa yang sengaja menguburkan sejarah. Karena itu, nyaris tidak ada kenangan yang abadi bagi bangsa ini secara kolektif.
Itu
pula yang kita saksikan tatkala bencana demi bencana melanda Republik
ini dari waktu ke waktu beruntun tanpa jeda, termasuk bencana yang mendera akhir-akhir ini.
Padahal, beban penderitaan yang ditanggung korban bencana itu teramat berat.
Mereka kehilangan tempat tinggal dan harta benda bahkan sanak saudaranya. Mata
pencaharian pun tercerabut karena tempat mereka mencari nafkah terkoyak
oleh banjir atau tertimbun debu vulkanis.
Dalam
bencana banjir yang masih berlangsung saat ini, misalnya, tidak kurang
dari 300 ribu hektare area persawahan yang baru memulai masa tanam
tersapu banjir. Letusan Gunung Sinabung pun meluluhlantakkan 20 ribu
hektare lahan tanaman hortikultura dan padi di Tanah Karo.
Maka,
banyak di antara para korban bencana tiba-tiba terjungkal didasar jurang kemiskinan. Mereka
terseok-seok berupaya bangkit dari titik nadir kenestapaannya. Jumlah orang yang tiba-tiba menjadi miskin akibat bencana bisa mencapai 450 ribu orang.
Namun,
apa yang menjadi dalih dan yang dilakukan oleh pemangku kebijakan tak menunjukkan memori getir
itu agar layak dikenang untuk dicarikan solusi. Negara ini, misalnya,
mengalokasikan dana penanganan bencana dalam jumlah minim, hanya
sekitar Rp3 triliun. Padahal, menurut Badan Nasional Penanggulangan
Bencana, kerusakan dan kerugian akibat bencana alam rata-rata mencapai
Rp30 triliun per tahun.
Dengan
dana yang terbatas, upaya pemulihan bencana memerlukan waktu sedikitnya
tiga tahun. Di negara yang sudah menjadi langganan banjir, gunung
meletus, ataupun gempa bumi, anggaran penanganan bencana yang
dialokasikan semestinya mencakup jaring pengaman sosial bagi korban.
Jaring
pengaman itu harus bisa menjamin jumlah orang miskin tidak akan
bertambah akibat bencana. Bentuknya bisa dimulai dari pembangunan kembali tempat
tinggal mereka hingga pemberian sarana dan prasarana produksi. Dengan jaring
pengaman sosial, korban tidak perlu memulai dari titik nol untuk kembali
bangkit. lagi Pemulihan ekonomipun akan berjalan cepat.
Semua
itu memerlukan itikad politik yang kuat untuk memberi perhatian lebih
serius pada penanganan bencana. Serius artinya dimulai dengan memasukkan
pemulihan ekonomi dalam program pemulihan pascabencana (livelyhood programme). Dengan begitu,
negara akan mengalokasikan anggaran sampai sepuluh kali lebih besar daripada yang ada sekarang.
Pemulihan
pascabencana pun akan bergulir lebih pesat bila perbankan nasional
turun tangan ikut membantu. Caranya, misalnya, dengan memberikan pinjaman
superlunak kepada korban sehingga bisa memulai kembali usaha mereka.
Toh, perbankan selama ini sudah menikmati dana murah dari masyarakat untuk dikelola
dan menghasilkan keuntungan yang sangat fantastis.
Seiring
dengan itu, gerak cepat pemerintah pusat dan daerah dalam rangka memulihkan
infrastruktur yang mendukung perekonomian rakyat sangat diperlukan. Jangan
biarkan korban bencana semakin terpuruk dalam kemiskinan, tapi di sisi
lain negara malah sudah menyiapkan dana fantastis untuk keperluan kelompok,
misalnya dana saksi untuk partai politik.
Memperbaiki memori kolektif dari panjangya pengalaman bencana di negeri ini dan memperbaiki pola penanganan bencana melalui cara-cara solutif-kreatif mutlak dilakukan oleh pemangku kebijakan .
Mengenang dan mengevaluasi apa yang pernah terjadi pada negeri ini, adalah agar
bangsa ini tak jadi cepat hilang ingatan.
SUDAHILAH ERA GAGAP BENCANA
By : Unknown
SEBAGAI negeri yang tidak pernah
sepi dari bencana alam, cara kita mengenali dan menangani bencana kerap
terlambat, parsial, dan cenderung berpola responsif.
Tengoklah respons yang terjadi ketika Gunung Sinabung meletus, Manado disergap banjir dan longsor, serta jalur pantai utara di Jawa Barat terputus dikepung banjir, kita terkaget-kaget sehingga penanganannya pun serba instan.
Semua seolah terjadi seperti tiba-tiba, padahal sejatinya tanda-tandanya sudah nyata sejak lama. Tidak mengherankan jika korban berjatuhan kian banyak dengan tingkat kepedihan yang sangat dalam. Dampak lanjutan pascabencana pun dipastikan jauh lebih hebat daripada bila respons atas bencana dilakukan secara cepat dan menyeluruh.
Ribuan petani di sekitar Gunung Sinabung, Sumatra Utara, kini belum tahu harus bagaimana mencari nafkah setelah ribuan hektare lahan mereka rusak. Laju ekonomi di Manado belum sepenuhnya bergerak karena kota yang porak-poranda.
Pun dengan denyut ekonomi di jalur pantura yang lumpuh berhari-hari, dan kini belum sepenuhnya pulih akibat rusaknya infrastruktur. Jutaan orang, triliunan rupiah, dan ribuan aset yang musnah jelas memukul perekonomian masyarakat dengan pendapatan paling rentan sehingga mengirim mereka ke bibir jurang kemiskinan baru.
Itu semua tidak perlu terjadi jika para pemangku kebijakan mengakrabi bencana. Kebijakan menyeluruh di bidang kebencanaan, mulai deteksi dini, pencegahan, tanggap darurat, hingga rehabilitasi menunjukkan pemanggul kebijakan tak paham, atau pura-pura tak paham, atau malah tak mau paham dengan bencana.
Padahal, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sudah memberikan panduan apa yang harus dilakukan saat prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana.
Prabencana memandu bagaimana bertindak dalam situasi jika tidak terjadi bencana dan dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana. Di fase tanggap darurat, undang-undang mengamanatkan para pemangku negara bertindak cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya. Adapun pascabencana, negara harus menyelesaikan proses rehabilitasi dan rekonstruksi.
Maka, jika kita tidak ingin bencana di negeri ini terus-menerus menelan korban dalam jumlah yang besar baik korban jiwa maupun materi, hentikan kebiasaan lama. Bertindak lambat, instan, dan parsial dalam menangani bencana harus jadi kamus usang yang wajib ditinggalkan.
Kini, ketika bencana mulai agak mereda, meskipun belum bisa dikatakan jeda, upaya penanganan pascabencana harus segera dirumuskan. Amanat undang-undang misalnya, jangan hanya menjadi tumpukan kertas di lingkaran meja birokrasi.
Semua itu agar amanat konstitusi, yakni melindungi segenap tumpah darah Indonesia, benar-benar nyata dan bukan ornamen sejarah penghias kebangsaan.
Tengoklah respons yang terjadi ketika Gunung Sinabung meletus, Manado disergap banjir dan longsor, serta jalur pantai utara di Jawa Barat terputus dikepung banjir, kita terkaget-kaget sehingga penanganannya pun serba instan.
Semua seolah terjadi seperti tiba-tiba, padahal sejatinya tanda-tandanya sudah nyata sejak lama. Tidak mengherankan jika korban berjatuhan kian banyak dengan tingkat kepedihan yang sangat dalam. Dampak lanjutan pascabencana pun dipastikan jauh lebih hebat daripada bila respons atas bencana dilakukan secara cepat dan menyeluruh.
Ribuan petani di sekitar Gunung Sinabung, Sumatra Utara, kini belum tahu harus bagaimana mencari nafkah setelah ribuan hektare lahan mereka rusak. Laju ekonomi di Manado belum sepenuhnya bergerak karena kota yang porak-poranda.
Pun dengan denyut ekonomi di jalur pantura yang lumpuh berhari-hari, dan kini belum sepenuhnya pulih akibat rusaknya infrastruktur. Jutaan orang, triliunan rupiah, dan ribuan aset yang musnah jelas memukul perekonomian masyarakat dengan pendapatan paling rentan sehingga mengirim mereka ke bibir jurang kemiskinan baru.
Itu semua tidak perlu terjadi jika para pemangku kebijakan mengakrabi bencana. Kebijakan menyeluruh di bidang kebencanaan, mulai deteksi dini, pencegahan, tanggap darurat, hingga rehabilitasi menunjukkan pemanggul kebijakan tak paham, atau pura-pura tak paham, atau malah tak mau paham dengan bencana.
Padahal, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sudah memberikan panduan apa yang harus dilakukan saat prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana.
Prabencana memandu bagaimana bertindak dalam situasi jika tidak terjadi bencana dan dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana. Di fase tanggap darurat, undang-undang mengamanatkan para pemangku negara bertindak cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya. Adapun pascabencana, negara harus menyelesaikan proses rehabilitasi dan rekonstruksi.
Maka, jika kita tidak ingin bencana di negeri ini terus-menerus menelan korban dalam jumlah yang besar baik korban jiwa maupun materi, hentikan kebiasaan lama. Bertindak lambat, instan, dan parsial dalam menangani bencana harus jadi kamus usang yang wajib ditinggalkan.
Kini, ketika bencana mulai agak mereda, meskipun belum bisa dikatakan jeda, upaya penanganan pascabencana harus segera dirumuskan. Amanat undang-undang misalnya, jangan hanya menjadi tumpukan kertas di lingkaran meja birokrasi.
Semua itu agar amanat konstitusi, yakni melindungi segenap tumpah darah Indonesia, benar-benar nyata dan bukan ornamen sejarah penghias kebangsaan.
MITIGASI BENCANA YANG TERLUPAKAN
By : Unknown
Entah sudah berapa ribu kali diungkapkan bahwa negeri ini amat rawan bencana.
Sebagian besar wilayah Indonesia bertengger di atas zona patahan lempeng
tektonik yang setiap saat bisa memantik gempa.
Sekitar
5 juta penduduk Indonesia hidup di wilayah rawan tsunami. Sebanyak 129
gunung berapi di sekujur Nusantara bisa meletus kapan saja.
Sekurang-kurangnya 13 jenis bencana mengancam kita.
Namun,
beribu-ribu kali kita diingatkan, beribu-ribu kali pula kita
menganggapnya sepele dan kemudian melupakanya begitu saja. Kalaupun
ingat, itu hanya terjadi kala bencana menyerang. Kita hanya ingat
tanggap darurat dan rehabilitasi pascabencana. Itu pun dengan manajemen
yang jauh dari disebut ideal.
Tahap
penanganan bencana yang hampir senantiasa luput dari perhatian kita
ialah mitigasi. Mitigasi bencana ialah serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mengurangi risiko bencana, baik terhadap jiwa manusia
maupun materi.
Edukasi
merupakan bagian penting mitigasi bencana. Ia menggugah kesadaran kita
bahwa karena kita hidup di wilayah rawan bencana, kita harus
mengakrabinya, senantiasa siap menghadapinya, tetapi tak boleh
menantangnya.
Namun,
peristiwa tewasnya belasan warga setelah terpapar oleh debu panas
erupsi Gunung Sinabung, Kabupaten Karo, Sumatra Utara, Sabtu (1/2),
memamerkan betapa kita alpa dengan mitigasi bencana. Kita berduka
sedalam-dalamnya atas peristiwa itu. Namun, sekadar duka tak akan cukup
mampu mencegah peristiwa serupa berulang.
Oleh karena itu, harus kita katakan bahwa peristiwa itu terjadi sebab kita seperti hendak menantang bencana. Di
satu sisi, peristiwa itu terjadi lantaran warga mengabaikan peringatan
bahwa erupsi Sinabung masih mengancam untuk waktu yang lama, sekitar
satu tahun menurut prediksi.
Di
sisi lain, karena mitigasi mencakup edukasi, dan edukasi menjadi
kewajiban negara, harus kita katakan bahwa erupsi Sinabung yang
merenggut banyak nyawa membuktikan kegagalan negara dalam mitigasi
bencana. Para pemangku kepentingan gagal mengedukasi dan menggugah
kesadaran rakyat untuk mengurangi risiko bencana.
Kita
berani bertaruh, anggaran untuk mitigasi bencana terutama di bidang
edukasi sangat kecil, lebih kecil jika dibandingkan dengan anggaran
tanggap darurat dan anggaran rehabilitasi pascabencana. Bila anggaran
tanggap darurat dan rehabilitasi bencana diketahui jauh dari memadai,
bisa kita bayangkan betapa minimnya anggaran mitigasi bencana.
Padahal,
mitigasi bencana merupakan hulu penanganan bencana. Bila mitigasi
bencana beres, tanggap darurat dan pemulihan bakal beres pula.
Kita
malu luar biasa menyaksikan rakyat Jepang yang begitu sigap dan tertib
menghadapi gempa dan tsunami pada Maret 2011. Korban bisa diminimalkan,
pemulihan pun cepat terealisasi. Itu semua membuktikan ‘Negeri Sakura’
itu beres mitigasi bencananya.
Bahkan
tak perlu belajar jauh kepada Jepang. Kita sesungguhnya bisa belajar
dari kearifan lokal Nusantara. Kearifan lokal dalam berbagai
implementasinya mengajarkan kita mengakrabi alam bahkan ketika alam
sedang murka sekalipun.
Peristiwa
Sinabung semestinya menjadi peringatan terakhir bagi bangsa ini untuk
melawan lupa bahwa mitigasi teramat penting bagi negeri rawan bencana
seperti Indonesia. Bila tidak, bencana-bencana berikutnya dengan risiko
masif bakal hadir silih berganti untuk mengingatkan bangsa ini lagi dan lagi.
Pengungsi Sinabung Dihimpit Penderitaan dan Kesepian
By : Unknown
SUDAH
lebih dari empat bulan warga Tanah Karo, Sumatra Utara, dihimpit
penderitaan akibat amuk Gunung Sinabung. Namun, selama itu pula mereka
seperti sendirian merasakan nestapa tanpa sentuhan empati dari para
pemimpin negeri.
![]() | ||
Sejak meletus pada awal
September 2013, Sinabung telah memaksa ribuan warga meninggalkan rumah
menuju pengungsian. Sawah dan kebun yang selama ini menjadi sandaran
hidup, mereka tinggalkan.
Arus pengungsi bukannya surut,
melainkan kian hari kian bertambah karena Gunung Sinabung tidak henti
meluapkan erupsi. Kini tak kurang dari 7.925 kepala keluarga atau 25.605
jiwa harus menjalani hidup di tempat-tempat penampungan. Perkampungan
di sekitar Sinabung ibarat kota mati yang ditinggal penghuninya.
Semakin banyak pengungsi semakin
sulit pula kehidupan mereka di pengungsian. Tempat-tempat penampungan
semakin tak nyaman untuk sekadar merebahkan badan. Di Jambur Berastagi,
misalnya, satu tikar di posko pengungsian rata-rata ditempati tujuh
kepala keluarga. Bahkan, satu ruang kelas bekas Universitas Karo diisi
60 sampai 130 KK.
Pengungsian bak tempat penantian
menjemput ajal. Serangan berbagai jenis penyakit plus stres
berkepanjangan telah merenggut nyawa 14 pengungsi. Informasi terbaru
bahkan menyebutkan 19 orang meninggal.
![]() |
Sebuah truk melintasi jalan pinggiran desa menembus wilayah yang sudah sepenuhnya diselimuti abu vulkanik dari erupsi Sinabung |
Kita prihatin, amat prihatin,
menyaksikan kisah pilu yang dilakoni masyarakat Karo. Namun, kita lebih
prihatin, lebih sedih, karena di tengah nestapa yang terus mendera, para
pemimpin negara tetap saja minim kepedulian. Benar bahwa Badan Nasional
Penanggulangan Bencana terus membantu para pengungsi. Akan tetapi,
semua upaya itu masih jauh dari cukup.
Yang terjadi justru berbanding
terbalik. Bupati Tanah Karo Kena Ukur Karo Jambi Surbakti jarang
meninjau langsung posko-posko pengungsian. Ia masih lebih suka bekerja
di belakang meja sembari menunggu laporan dari lapangan.
Begitu juga pemerintah pusat.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum pernah datang menengok rakyatnya
yang menggantungkan hidup di tempat pengungsian. Ia baru berencana
bertandang ke Tanah Karo, minggu depan. Berbeda ketika ia cepat bereaksi
dengan memutuskan berkantor selama beberapa hari di Yogyakarta kala
Gunung Merapi meletus pada 2006 dan 2010.
![]() |
Sebuah rumah yang telah ditinggal penghuninya untuk mengungsi terlihat rusak karena abu vulkanik Sinabung |
Adakah itu sebuah perbedaan
perlakuan terhadap bencana di Jawa dan luar Jawa? Rakyat Tanah Karo
korban bencana Sinabung ialah bagian dari keluarga besar Indonesia yang
tak semestinya diperlakukan berbeda. Ketika mereka menderita, sewajibnya
negara mencurahkan perhatian dan kepedulian yang sama dengan anak
bangsa lainnya. Tidak sepatutnya negara menebarkan pilih kasih yang bisa
memantik kecemburuan. Tidak sepantasnya negara menyemai bibit keluhan
daerah yang merasa dianaktirikan Presiden.
Tidak
ada satu pun manusia di kolong langit ini yang kuasa mencegah Sinabung
meletus. Namun, jika punya kemauan, pemimpin negeri ini bisa meringankan rakyatnya
dengan curahan perhatian dan kepedulian.
Topeng Malang yang Tergerus Zaman
By : UnknownUntuk menjaga kelestariannya, di Desa Karang Pandan, Kecamatan Pakisaji, Malang biasanya digelar pertunjukan wayang topeng.

Bila datang ke Kota Malang, Jawa Timur jangan
hanya nikmati keindahan alam. Kota dataran tinggi tersebut memang
memiliki udara yang sejuk, kemegahan Gunung Bromo siap didaki dan
pantai-pantai cantik tersembunyi menggoda untuk ditelusuri.
Namun Malang juga memiliki warisan budaya yang tak kalah menarik untuk dinikmati. Kesenian tradisional Malang adalah Topeng Malangan. Pertunjukannya sering tampil di acara-acara besar kota.
Memang sudah tak banyak seniman yang menggeluti kesenian ini. Tetapi bukan berarti tidak ada sama sekali. Salah satu yang bertahan adalah Sanggar Asmoro Bangun.
Sanggar ini adalah milik Maestro Topeng Malang yang juga menjadi pembuat topeng Malang pertama, Mbah Karimun. Beliau sudah tiada beberapa tahun silam namun sanggarnya diteruskan oleh keturunannya, Handoyo dan Saini.
Di sanggar yang terletak di Dusun Kedung Monggo, Desa Karang Pandan, Kecamatan Pakisaji, Malang ini biasanya digelar pertunjukan wayang topeng. Pertunjukan memiliki jadwal yakni biasanya digelar 36 hari sekali atau setiap Senin Manis atau Senin Legi.
Konon dipilihnya hari itu karena untuk memperingati adat buka desa pertama kali, yaitu desa tempat berdirinya sanggar tersebut. Pertunjukan biasanya digelar malam hari sekitar jam 19.00 dengan durasi waktu 2 jam. Lakon yang diangkat biasanya adalah kisah Panji Asmarabangun.
Selain datang menampilkan pertunjukan Topeng Malangan, sanggar juga memberikan kursus tari kepada anak-anak. Biasanya pelatihan tari dilaksanakan setiap hari Minggu.
Kalaupun tak sempat untuk menyaksikan gelaran, turis yang datang ke sanggar juga bisa membeli cenderamata topeng. Topeng memang dibuat sendiri oleh sanggar. Termasuk topeng-topeng yang digunakan dalam pertunjukan.
Beberapa cenderamata topeng mulai dari berbentuk gantungan kunci maupun yang dijadikan hiasan. Ukurannya pun bervariasi dari topeng berukuran mini sampai berukuran besar. Ukiran topeng yang ada disesuaikan dengan karakter yang dibawakan selagi pertunjukan.
Di tengah hingar bingar masyarakat modern, keberadaan Topeng Malang semakin terpinggirkan. Agar tak semakin hilang, tak ada salahnya menyaksikan pertunjukan topeng atau mengunjungi sanggar. Ini merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan oleh turis untuk menjaga dan melestarikan Topeng Malang.
(Fitri Prawitasari/Kompas.com)
Namun Malang juga memiliki warisan budaya yang tak kalah menarik untuk dinikmati. Kesenian tradisional Malang adalah Topeng Malangan. Pertunjukannya sering tampil di acara-acara besar kota.
Memang sudah tak banyak seniman yang menggeluti kesenian ini. Tetapi bukan berarti tidak ada sama sekali. Salah satu yang bertahan adalah Sanggar Asmoro Bangun.
Sanggar ini adalah milik Maestro Topeng Malang yang juga menjadi pembuat topeng Malang pertama, Mbah Karimun. Beliau sudah tiada beberapa tahun silam namun sanggarnya diteruskan oleh keturunannya, Handoyo dan Saini.
Di sanggar yang terletak di Dusun Kedung Monggo, Desa Karang Pandan, Kecamatan Pakisaji, Malang ini biasanya digelar pertunjukan wayang topeng. Pertunjukan memiliki jadwal yakni biasanya digelar 36 hari sekali atau setiap Senin Manis atau Senin Legi.
Konon dipilihnya hari itu karena untuk memperingati adat buka desa pertama kali, yaitu desa tempat berdirinya sanggar tersebut. Pertunjukan biasanya digelar malam hari sekitar jam 19.00 dengan durasi waktu 2 jam. Lakon yang diangkat biasanya adalah kisah Panji Asmarabangun.
Selain datang menampilkan pertunjukan Topeng Malangan, sanggar juga memberikan kursus tari kepada anak-anak. Biasanya pelatihan tari dilaksanakan setiap hari Minggu.
Kalaupun tak sempat untuk menyaksikan gelaran, turis yang datang ke sanggar juga bisa membeli cenderamata topeng. Topeng memang dibuat sendiri oleh sanggar. Termasuk topeng-topeng yang digunakan dalam pertunjukan.
Beberapa cenderamata topeng mulai dari berbentuk gantungan kunci maupun yang dijadikan hiasan. Ukurannya pun bervariasi dari topeng berukuran mini sampai berukuran besar. Ukiran topeng yang ada disesuaikan dengan karakter yang dibawakan selagi pertunjukan.
Di tengah hingar bingar masyarakat modern, keberadaan Topeng Malang semakin terpinggirkan. Agar tak semakin hilang, tak ada salahnya menyaksikan pertunjukan topeng atau mengunjungi sanggar. Ini merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan oleh turis untuk menjaga dan melestarikan Topeng Malang.
(Fitri Prawitasari/Kompas.com)
Jelang Dibantai, Orangutan Ini Peluk Anaknya
By : Unknown
Membunuh orangutan adalah ilegal di Indonesia, tapi hukum tak ditegakkan
Dalam gambar, tujuh pria mengepungnya. Induk orangutan yang sedang
hamil dan anaknya tersudut. Sadar tak bisa lagi melawan, keduanya
berpelukan erat.
"Beruntung kedatangan kami tepat waktu. Telat
beberapa menit saja keduanya sudah tak bernyawa," kata Dr. Signe
Preuschoft, pakar primata yang kini bergabung dengan lembaga nirlaba
Four Paws. Laporan tentang pembantaian orangutan di Kalimantan penjadi
topik utama bahasan media Inggris itu akhir pekan ini.
Menurut Daily Mail, pemburu Indonesia "rajin" membantai orangutan saat membuka hutan untuk perkebunan. Perusahaan perkebunan memberi iming-iming imbalan minimal Rp 950 ribu untuk satu kepala orangutan. Binatang ini dianggap hama perkebunan.
Sebelum penyelamatan itu, tim Four Paws telah menjelajahi berbagai wilayah di Kalimantan, baik yang masuk wilayah Indonesia maupun Malaysia, dan menemukan banyaknya orangutan yang sudah dibantai.
Deforestasi telah secara dramatis mengurangi habitat orangutan, kata Preuschoft. Jumlah mereka telah turun tajam dari 250 ribu ekor pada beberapa dekade lalu menjadi hanya 50 ribu saja di alam liar saat ini.
Banyak perusahaan perkebunan tak mengakui telah memberi imbalan kepada pemburu. Namun, sudah bukan rahasia di antara warga imbalan bagi kepala orangutan memang menggiurkan. Bukti pembantaian muncul September lalu, ketika kuburan dan tulang belulang ditemukan berceceran di ladang perkebunan.
"Membunuh orangutan adalah ilegal di Indonesia, tapi hukum tak ditegakkan," kata seorang juru bicara Four Paws Inggris.
Selain dibantai, kata mereka, dalam skenario yang sama tragisnya, bayi orangutan dibiarkan hidup dan setelah dewasa disembelih atau dijual.
Kembali pada induk dan anak orangutan yang ketakutan tadi, kini mereka aman di penangkaran. Rencananya induk-anak ini akan dilepas di hutan hujan yang lebih terlindung. Namun sebelumnya tubuh mereka akan dilengkapi perangkat radio sehingga ia dan anak-anaknya dapat dilacak untuk memastikan mereka tetap aman.
Menurut Daily Mail, pemburu Indonesia "rajin" membantai orangutan saat membuka hutan untuk perkebunan. Perusahaan perkebunan memberi iming-iming imbalan minimal Rp 950 ribu untuk satu kepala orangutan. Binatang ini dianggap hama perkebunan.
Sebelum penyelamatan itu, tim Four Paws telah menjelajahi berbagai wilayah di Kalimantan, baik yang masuk wilayah Indonesia maupun Malaysia, dan menemukan banyaknya orangutan yang sudah dibantai.
Deforestasi telah secara dramatis mengurangi habitat orangutan, kata Preuschoft. Jumlah mereka telah turun tajam dari 250 ribu ekor pada beberapa dekade lalu menjadi hanya 50 ribu saja di alam liar saat ini.
Banyak perusahaan perkebunan tak mengakui telah memberi imbalan kepada pemburu. Namun, sudah bukan rahasia di antara warga imbalan bagi kepala orangutan memang menggiurkan. Bukti pembantaian muncul September lalu, ketika kuburan dan tulang belulang ditemukan berceceran di ladang perkebunan.
"Membunuh orangutan adalah ilegal di Indonesia, tapi hukum tak ditegakkan," kata seorang juru bicara Four Paws Inggris.
Selain dibantai, kata mereka, dalam skenario yang sama tragisnya, bayi orangutan dibiarkan hidup dan setelah dewasa disembelih atau dijual.
Kembali pada induk dan anak orangutan yang ketakutan tadi, kini mereka aman di penangkaran. Rencananya induk-anak ini akan dilepas di hutan hujan yang lebih terlindung. Namun sebelumnya tubuh mereka akan dilengkapi perangkat radio sehingga ia dan anak-anaknya dapat dilacak untuk memastikan mereka tetap aman.
Sumber Tempo.co
Harta Karun Bernilai Rp 413 Miliar di Laut Dekat Jakarta
By : UnknownSaat ini ada 463 titik peninggalan harta karun di Tanah Air. Tapi baru dilakukan sepuluh pengangkatan.

Porselen berwujud mangkuk, piring, dan cangkir
yang diperkirakan berasal dari zaman Dinasti Ming di China ditemukan di
laut Indonesia, di rute menuju Jakarta, pada tahun 2008. Tidak
disebutkan lokasi spesifik penemuan ini, hanya disebutkan berjarak 150
kilometer dari pantai Ibu Kota di kedalaman 60 meter.
Pada operasi pengangkatan di tahun 2010, ditemukan 38.000 porselen dan hingga sekarang tercatat ada 700.000 item yang ditemukan.
Rencananya harta karun bernilai Rp413 miliar akan diangkat oleh perusahaan Portugal yang berbasis arkeologi bawah laut, Arqueonautas Worldwide SA (QOW). Melalui CEO-nya Nikolaus Graf Sandizell, QOW dikatakan akan mengambil harta ini tahun depan. Lamanya waktu pengangkatan karena izin yang sengaja ditunda oleh Pemerintah Indonesia.
Pengangkatan ini, dikatakan Sandizell, harus segera dilakukan untuk mencegah kehilangan. Berbagai faktor bisa memicunya, mulai dari jaring nelayan, eksplorasi minyak, pipa bawah laut, hingga tangan usil para penjarah. "Kami ingin menarik perhatian atas cepatnya harta karun ini menghilang. Dalam waktu sepuluh tahun, ini semua akan terlambat," ujar Sandizell seperti dilansir Bloomberg, Selasa (29/5).
Biaya pengangkatan harta karun yang disebut cagar budaya oleh Pemerintah Indonesia ini memakan biaya yang tidak sedikit, sekitar Rp60,5 miliar. Ini belum ditambah biaya platform buatan di atas laut untuk penempatan sementara hasil yang baru diangkut.
Namun, menurut Sekretariat Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Tenggelam (BMKT), pengangkatan ini belum mendapat izin. Karena BMKT masih menunggu Peraturan Pemerintah turunan dari UU No 11 2010 tentang cagar budaya,
"Izin saat ini tidak keluarkan lagi, semuanya masih moratorium," kata Adria Yuki, salah satu anggota di Seksi BMKT saat berbincang dengan National Geographic Indonesia, Rabu (30/5).
Pihak BMKT juga sudah mengenal Sandizell karena sempat melakukan presentasi untuk penelitian dan konservasi harta karun yang ditemukan di Indonesia pada April 2012. Jika memang ada sebagian dari harta ini yang dijual, maka hasilnya akan dibagi dua antara Pemerintah Indonesia dengan perusahaan yang mengambilnya. Hanya saja belum ada pembagian persentase barang yang belum dijual.
"Hasil pengangkatan ini tidak boleh dibawa ke luar negeri, hanya boleh dijual di Indonesia. Sebagian dana ini nantinya juga akan untuk penyelamatan cagar budaya Indonesia," kata Yuki lagi.
Namun, belum adanya rambu-rambu perizinan bukan artinya cagar budaya Indonesia berupa harta karun ini aman dari penjarahan. Di tahun 1986, Michael Hatcher asal Australia dituding mengambil bernilai triliunan rupiah dari laut Indonesia. Hal ini berlanjut hingga tahun 1999 dan 2010 di mana ia dilaporkan mengambil harta karun di Subang, Jawa Barat.
Besarnya cakupan laut Indonesia, ditambah minimnya pengawasan jadi salah satu faktor kemudahan pencurian ini. Menurut data dari BMKT dan LIPI, saat ini ada 463 titik peninggalan harta karun di Tanah Air tapi baru dilakukan sepuluh pengangkatan. Data UNESCO menyebut, ada tiga juta kapal yang bangkainya teronggok di dasar lautan. 50.000 di antaranya mengandung harta bernilai yang berusia ribuan tahun.
(Sumber: Bloomberg)
Pada operasi pengangkatan di tahun 2010, ditemukan 38.000 porselen dan hingga sekarang tercatat ada 700.000 item yang ditemukan.
Rencananya harta karun bernilai Rp413 miliar akan diangkat oleh perusahaan Portugal yang berbasis arkeologi bawah laut, Arqueonautas Worldwide SA (QOW). Melalui CEO-nya Nikolaus Graf Sandizell, QOW dikatakan akan mengambil harta ini tahun depan. Lamanya waktu pengangkatan karena izin yang sengaja ditunda oleh Pemerintah Indonesia.
Pengangkatan ini, dikatakan Sandizell, harus segera dilakukan untuk mencegah kehilangan. Berbagai faktor bisa memicunya, mulai dari jaring nelayan, eksplorasi minyak, pipa bawah laut, hingga tangan usil para penjarah. "Kami ingin menarik perhatian atas cepatnya harta karun ini menghilang. Dalam waktu sepuluh tahun, ini semua akan terlambat," ujar Sandizell seperti dilansir Bloomberg, Selasa (29/5).
Biaya pengangkatan harta karun yang disebut cagar budaya oleh Pemerintah Indonesia ini memakan biaya yang tidak sedikit, sekitar Rp60,5 miliar. Ini belum ditambah biaya platform buatan di atas laut untuk penempatan sementara hasil yang baru diangkut.
Namun, menurut Sekretariat Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Tenggelam (BMKT), pengangkatan ini belum mendapat izin. Karena BMKT masih menunggu Peraturan Pemerintah turunan dari UU No 11 2010 tentang cagar budaya,
"Izin saat ini tidak keluarkan lagi, semuanya masih moratorium," kata Adria Yuki, salah satu anggota di Seksi BMKT saat berbincang dengan National Geographic Indonesia, Rabu (30/5).
Pihak BMKT juga sudah mengenal Sandizell karena sempat melakukan presentasi untuk penelitian dan konservasi harta karun yang ditemukan di Indonesia pada April 2012. Jika memang ada sebagian dari harta ini yang dijual, maka hasilnya akan dibagi dua antara Pemerintah Indonesia dengan perusahaan yang mengambilnya. Hanya saja belum ada pembagian persentase barang yang belum dijual.
"Hasil pengangkatan ini tidak boleh dibawa ke luar negeri, hanya boleh dijual di Indonesia. Sebagian dana ini nantinya juga akan untuk penyelamatan cagar budaya Indonesia," kata Yuki lagi.
Namun, belum adanya rambu-rambu perizinan bukan artinya cagar budaya Indonesia berupa harta karun ini aman dari penjarahan. Di tahun 1986, Michael Hatcher asal Australia dituding mengambil bernilai triliunan rupiah dari laut Indonesia. Hal ini berlanjut hingga tahun 1999 dan 2010 di mana ia dilaporkan mengambil harta karun di Subang, Jawa Barat.
Besarnya cakupan laut Indonesia, ditambah minimnya pengawasan jadi salah satu faktor kemudahan pencurian ini. Menurut data dari BMKT dan LIPI, saat ini ada 463 titik peninggalan harta karun di Tanah Air tapi baru dilakukan sepuluh pengangkatan. Data UNESCO menyebut, ada tiga juta kapal yang bangkainya teronggok di dasar lautan. 50.000 di antaranya mengandung harta bernilai yang berusia ribuan tahun.
(Sumber: Bloomberg)